Jumat, 16 September 2011

Selamat Datang Masyumi Centre

“Pak Natsir itu siapa sih mas ?”, pertanyaan itu muncul dari seorang mahasiswa yang aktif di dunia pergerakan Islam. Dalam kesehariannya, ia fasih bercerita tentang Afghanistan dan Palestina, juga sangat familiar dengan nama-nama besar di dunia harakah Islamiyah seperti Hasan Al Banna, Sayyid Quthub, Taqiyuddin An Nabhani maupun Abul A’la Al Maududi. Tidak ada yang salah dengan familiaritas mahasiswa tersebut dengan para tokoh harakah Islamiyah tersebut, yang menjadi keprihatinan kita adalah kenapa sebagai kader dakwah di bumi Indonesia ia justru tidak mengenal orang tuanya sendiri. Kalau dengan Pak Natsir, tokoh yang sering dianggap sebagai representasi Islam Politik di Indonesia tidak mengenal, apalagi dengan kolega beliau seperti Prawoto Mangkusasmito, Mohammad Roem, Kasman Singodimejo, KH Isa Anshary dan para tokoh sezaman yang telah berhasil meletakkan pondasi dakwah di dunia politik dan kenegaraan.

M. Anis Matta, misalnya, sosok yang dikenal sebagai Tokoh PKS dan anggota DPR pun, ketika menulis artikel di Hidayatullah (oktober 2003) menyebut bahwa Generasi para pemikir dakwah (abad ini), seperti Al-Banna, Al-Maududi, Sayyid Quthub memfokuskan Generasi kedua seperti Muhammad Al Ghazali, Yusuf Qardhawi, Fathi Yakhan memfokuskan Lalu dikemanakan sosok Natsir, Prawoto, Roem dan bapak-bapak dakwah kita ? Padahal, ketika Dr. Imaduddin Abdul Rahim menjadi utusan Pak Natsir untuk menghadiri IIFSO Conference di tahun 1971 merasa surprised. Betapa tidak ia yang saat itu belum menjadi apa-apa dalam percaturan Islam Internasional, diperlakukan sangat istimewa ketika ia memperkenalkan diri sebagai utusan Pak Natsir. Ketika di Beirut ia dijamu oleh Amin Al Husaini (Presiden Muktamar Alam Islami) dan diajak beraudiensi selama 1 jam. Setelah itu dia diundang ke Pakistan dan diajak beraudiensi dengan Abul ‘A’la Al Maududi. Di Libanon ia disambut langsung oleh Fathi Yakan (tokoh Ikhwanul Muslimin Libanon).

Masyumi dan Persatuan Umat Islam
Sejarah telah mencatat bahwa kehadiran Masyumi pernah dapat merangkum semua eksponen Islam dalam satu gerakan yang kokoh dan rapi. Tercatat mulai dari Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Perikatan Umat Islam, Persatuan Umat Islam dan masih banyak organisasi Islam lain, merupakan anggota Masyumi. Oleh karena itu tak heran bila pada saat pendiriannya Masyumi mengeluarkan Maklumat pada tanggal 7 November 1945 yang berbunyi, “60 Miljoen Kaoem Moeslimin Indonesia Siap Berdjihad Fi Sabilillah” Bahkan KH. Hasyim Asy’ari saat itu memfatwakan bahwa “Masyumi adalah satu-satunya Partai Politik Islam yang sah”iii Fenomena tersebut, menjadikan Masyumi mempunyai pesona tersendiri di kalangan politisi Muslim saat ini, yang diharapkan selain “spirit persatuan ummatnya” nama besar Masyumi diharapkan dapat mendongkrak perolehan suara.

Salah satu teladan terbesar Masyumi adalah proses harmonisasi dari berbagai kutub pemikiran maupun gerakan Islam yang sebelumnya dikenal berseberangan. Masyumi dapat mempersandingkan antara Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama, yang menjadi simbol pertentangan antara paham “Wahabisme” dengan “Asy’ariah”, yang menolak dan mendukung madzhab. Di kalangan gerakan, ada kelompok Isa Anshari yang cenderung dengan konsep “Syura dan Jamaah”v dan kelompok Natsir yang cenderung pada “Demokrasi dan Kepartaian”.

Harmoni antar kutub ini terjadi bukan hanya berdasar kepentingan sesaat, seperti umunya fondasi koalisi dalam dunia politik. Akan tetapi lebih didasarkan pada realitas pentingnya persatuan Ummat Islam. Kegagalan mepertahankan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta, akibat keputusan yang terburu-buru dan tidak terkoordinir, menjadikan para tokoh Islam menyatukan barisan dalam perjuangan. Ungkapan Mr. Moh. Roem : “Menangisi susu yang sudah tumpah” ataupun M. Natsir : “Tanggal 17 Agustus 1945 kita mengucapkan hamdalah, Allhamdulillah menyambut lahirnya Republik sebagai anugerah Allah ! Tanggal 18 Agustus 1945 kita Istighfar mengucapkan Astaghfirullah karena hilangnya tujuh kata !”vi adalah ungkapan keprihatinan yang ditindaklanjuti langkah strategis penyatuan barisan. Oleh karena itu kelahiran Mayumi yang bercorak kesatuan bukanlah suatu kebetulan dalam sejarah (an historical accident) yang tidak dilatar belakangi kesadaran tetapi merupakan keharusan sejarah (an historical necessity).

Tokoh-tokoh sentral dalam Masyumi, juga merupakan faktor penyangga dari persatuan itu. Hamka dan Natsir adalah sosok yang saling melengkapi. Hamka adalah orang timur (hasil pendidikan tradisonal) yang memahami barat, sedangkan Natsir adalah orang barat (hasil pendidikan modern) yang memahami timur. Selain kelompok “reformis” seperti Natsir dan Roem ada juga Pak Soekiman yang mampu “ngemong” perilaku politik kelompok pesantren. Kepemimpinan di tubuh Masyumi juga bersifat kolektif. Posisi Natsir, Kasman Singodimejo, Moh. Roem, Syafrudin Prawiranegara, Burhanudin Harahap, Hamka, Isa Anshari, berada pada level yang sama, sehingga tidak ada figur dominan.
Meskipun akhirnya Masyumi juga ditinggalkan beberapa organ pendukungnya, namun ini lebih disebabkan faktor eksternal, yaitu godaan politik, seperti SI yang berubah kembali menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) karena adanya tawaran kabinet dari Amir Syarifudin, sedangkan Dewan Pimpinan Masyumi menolak. Sebagaimana NU yang merasa jengah dengan posisi hanya sebagai Majelis Syura dan satu-satunya jabatan yang dipercayakan hanya Menteri Agama. Akan tetapi, berpisah secara organisasi bukan berarti berpisah dalam tujuan, terbukti ketika Konstituante, sewaktu penentuan dasar negara apakah Pancasila atau Islam, semuanya tetap satu suara

Penutup
Sejarah panjang memutus “Catatan emas” sepak terjang Masyumi dalam perpolitikan negeri ini dilakukan sejak era Sukarno, ketika mencanangkan “Demokrasi Terpimpin” yang berniat menguburkan Partai-Partai. Kemudian datang Orde Baru yang datang dengan muka manis, membebaskan Tokoh-Tokoh Masyumi dari penjara (yang menemuai para tokoh tersebut adalah LB Moerdani). Merengek minta dibukakan pintu investasi dari negara-negara “sahabat Masyumi”. Namun ketika (atas lobby Pak. Natsir) investasi mulai dari negara-negara Timur Tengah dan Jepang, Natsir dkk kembali dikekang. Sehingga terjadilah “Keterputusan Sillaturrahmi Antar Generasi.” Sejarah Masyumi hanya menjadi obrolan nostalgia dari para pelakunya, kalangan PII dan GPI generasi tua dan orang-orang yang sejaman dengannya.
Ketika H. Agus Salim ditanya apa peranan beliau pada waktu pecahnya SI menjadi SI Merah dan SI Putih 1925-1926, beliau menjawab “We are as not interested in past. We are interested in the future”. Oleh karena itu kehadiran Masyumi Centre  bukan dimaksudkan untuk sekedar meromantisir masa lalu. Akan tetapi lebih merupakan usaha “self correction” bahwa keterpurukan ummat Islam saat ini mungkin disebabkan ketidakmampuan kita meneladani dan menyambung sejarah. Masyumi centre diharapkan mampu menyambung benang merah yang telah diputus paksa oleh sejarah menjadi sebuah jalinan rantai yang berkesinambungan, sehingga kita tidak selalu bermula dari titik nol di dunia dakwah.

Pustaka
Dr. Imaduddin Abdul Rahim, “Kesan-Kesan Terhadap Mohammad Natsir”, makalah dalam seminar Jejak Perjuangan Mohammad Natsir, Youth Islamic Studi Club Al-Azhar 16-19 Juli 1994, Jakarta.
M. Anis Matta, Mengubah Cara Kita Memikirkan Dakwah” artikel dalam Majalah Hidayatullah edisi Oktober 2003.
Dr. Taufik Abdullah, 1994, Natsir, “Seorang Guru Yang Perfeksionis Filosofis”, makalah dalam seminar Jejak Perjuangan Mohammad Natsir, Youth Islamic Studi Club Al-Azhar 16-19 Juli 1994, Jakarta.
Dr. Ysril Ihza Mahendra, Sambutan dalam Seminar Jejak Perjuangan Mohammad Natsir, Youth Islamic Studi Club Al-Azhar 16-19 Juli 1994, Jakarta.
Team Sabili, 2003, “Mohammad Natsir, Kiai Perdana Menteri” Artikel dalam Majalan Sabili Edisi Khusus, Sejarah Emas Muslim Indonesia, Oktober 2003.
M. Natsir, 1957, Capita Selecta II, (Dihimpun oleh D.P. Sati Aliman) Pustaka Pendis, Jakarta.
Wawancara Mawardi Noor dengan majalah Hidayatullah, edisi Maret 1998
Hussein Umar, 2003, Pengkhianatan Atas Islam, artikel dalam Majalah Sabili edisi khusus, November 2003
Syafi’i Ma’arif, Dr, 1996, Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin, Gema Insani Press, Jakarta

Sumber : Tulisan Arif Wibowo / Team MC

0 komentar:

Posting Komentar

Simak juga daftar bisnis online TOP hari ini :

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grants For Single Moms