Lebih dari $ 2000 Latest Cashout di Birejji
Sebuah Fakta Baru Lahir, lebih dari $ 2000 latest cashout di Birejji,,,sudahkah kita cashout hari ini?!?!,,,tetap semangat,,salam satoe djiwa
Trading modal gratis di MARKETIVA buka account bonus cash $5
MARKETIVA adalah perusahaan finansial yang secara khusus menyediakan layanan trading online terbaik baik LIVE dan VIRTUAL yang terpercaya kepada trader. Marketiva ini sudah online di bidang forex trading sejak tahun 2005, reputasi marketiva memang tidak perlu diragukan lagi, tidak sekedar GRATIS buka akun di marketiva tapi member juga akan mendapat bonus cash 5 $
This is featured post 3 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.
Rabu, 26 Februari 2014
Potret Eksistensi Gerakan Nativisasi di Pesisir Pantai Selatan Lumajang (Bagian 2)
Posted by Satria Hijau on 23.46
Situs dan Tutur Sejarah
Selang sekitar
seratusan meter dari gapura desa terdapat sebuah kompleks pekuburan
yang telah berusia ratusan tahun namun kondisinya masih cukup baik dan
terawat, kompleks makam ini merupakan pemakaman umum satu-satunya dan
masih dipergunakan oleh warga hingga saat ini.
Tata
bangunan pemakaman tersebut tak ubahnya makam-makam tua peninggalan
belanda atau pekuburan cina pada umumnya namun yang terlihat berbeda dan
mencolok adalah pintu gerbang makam yang secara tegas di pasang tanda
salib, sebuah atribut resmi yang menunjukkannya sebagai pemakaman
Kristen.
Makam tersebut memang lebih mirip sebuah situs
yang mengabarkan juga sebuah fakta sejarah tentang tumbuh kembang
terbentuknya masyarakat Kristen tunjungrejo, di dalam kompleks itu
dimakamkan juga tokoh-tokoh setempat termasuk juga sang sesepuh pendiri
desa tunjungrejo yang bernama Raden Seto Brontodiwirjo, seorang tokoh
pemuka agama berasal dari komunitas Kristen mojowarno-mojokerto yang
konon mendapatkan “restu” dari pemerintah belanda dalam kisaran tahun
1890-1900 untuk membuka sebuah desa baru atau mbabat alas hingga
kemudian dari kepeloporannya bisa berdiri sebuah desa Kristen bernama
tunjungrejo dengan segala pernak pernik keunikannya.
Dari
penuturan mbah jono narasumber dadakan yang berhasil dikorek
keterangannya, desa ini sudah berdiri selama empat generasi namun anak
muda desa tunjungrejo tak pernah gagap dalam menceritakan tentang desa
mereka dengan latar belakang kesejarahannya, hal ini dikarenakan dalam
setiap momentum yang rutin diadakan setiap tahunnya seperti selamatan
sedekah desa yang mereka namakan tradisi unduh-unduh maupun natalan
selalu ada bagian atau babak khusus untuk menuturkan sejarah keberadaan
desa mereka dari awal mula mbabat alas hingga saat ini, ada semacam
surat (=serat) dari generasi tua kepada generasi muda berisi pesan untuk
membangun desa dengan segenap potensi material dan spiritualnya, surat
yang biasanya dilantunkan dalam bentuk tetembangan jawa tersebut
merupakan tutur sejarah yang seolah memberi ruang bagi generasi muda
untuk optimis membangun desa sebagaimana para pendahulu mereka sukses
melakukannya.
Melalui media situs dan tutur sejarah yang
senantiasa didekatkan kepada generasi muda maka meski tlah berlangsung
selama empat generasi namun akar sejarah seolah takkan pernah mengering
menjadi inspirasi bagi generasi sekarang agar bisa meneguhkan eksistensi
mereka ditengah tantangan dan dinamika zaman.
Kristen-Jawa bernama Kristen Jawi Wetan
Memasuki
tunjungrejo suasana alam pedesaan begitu terasa, desa yang berbatasan
langsung dengan laut selatan ini dikenal subur dan memiliki sistem
irigasi pertanian yang baik, karakteristik masyarakatnya yang agraris
tampak dari cara penataan rumah dan lahan, bangunan rumah diposisikan
tepat di tengah-tengah sementara lahan disekelilingnya difungsikan
sebagai ladang atau tegalan untuk bercocok tanam sayuran, buah buahan
dan aneka ragam tanaman produktif lainnya. Karakter masyarakat jawa yang
agraris menjadi ciri khas yang dengan mudah kita temui pada masyarakat
kristen desa tunjungrejo.
Di pusat desa yang berdekatan
dengan balai desa terdapat sebuah gereja yang merupakan satu-satunya
gereja yang berdiri di desa kristen tersebut, dari nameboardnya gereja
tersebut bernama GKJW (Greja Kristen Jawi Wetan) Pasamuwan Tunjungrejo
berbadan hukum NO 53 TGL 27 6 932 STBL 372, gereja jawi wetan tersebut
sudah berusia lebih seratus tahun, telah mengalami beberapa kali
renovasi dengan mempertahankan bentuk aslinya hingga berwujud seperti
sekarang ini.
Meskipun
tidak bisa dinafikan keberadaan warisan belanda yang tampak dari
arsitek gereja dan pemakaman namun penganut kristen jawi wetan
senantiasa tampil “njawani” menurut cerita seorang teman nasrani yang
pernah mengikuti perayaan paskah disana jamaah gereja atau umumnya
disebut jemaat senantiasa hadir di gereja dengan mengenakan busana
sehari-hari, para wanita kebanyakan berkebaya sedangkan laki-lakinya
sebagian mengenakan pakaian adat jawa, sebagian lagi bersongkok bahkan
mengenakan sarung sebagaimana yang biasa dikenakan warga muslim saat
berjamaah ke masjid. Teman nasrani yang dibesarkan di alam perkotaan
justru kurang bisa memahami ritual jemaat disana dikarenakan sebagian
besar menggunakan bahasa jawa halus (kromo inggil) meskipun ada juga
sebagian pengantar yang menggunakan bahasa indonesia.
Jangan
pernah berharap akan mendengar suara piano dan aransemen modern lainnya
pada setiap acara seperti natal, paskah atau ritual unduh unduh karena
justru pada acara-acara tersebut yang dilantunkan adalah syair
puji-pujian dalam tetembangan jawa diantaranya yang terkenal adalah
langgam kidung pujian serat rasa sejati karya (kiai) paulus tosari
pemimpin GKJW Mojowarno yang merupakan cikal bakal lahirnya GKJW di
daerah-daerah lain di jawa timur.
Metode pengabaran injil
oleh paulus tosari yang jejaknya diikuti oleh para penerusnya tidak
hanya menggunakan wayang, tetapi juga menggunakan media aneka langgam
jawa dalam bentuk asmaradana, kinanthi, pucung, pangkur, maskumambang, mijil, gambuh, dandanggula, megatruh, hingga sinom.
Sekilas googling mencari syair serat rasa sejati, diantaranya saya copy pastekan sebagai berikut :
“Rasa
sajati pinangkanipun saking Gusti Allah; tanpa rasa sajati manungsa
boten leres wonten ngarsanipun Pangeran. Suraosing gesang ingkang
nunggil kaliyan suraosing Gusti Allah punika kaurmatan lan pangabekti;
saged langgeng wonteng ing pejah saha gesang, punapa malih begja utawi
cilaka. Manungsa ingkang nampi dhawuhing Gusti Allah punika ingkang
kanggenan rasa sajati; gadhah kamukten salabetipun nandhang nistha, saha
kabegjan salebetipun nandhang sangsara, tindaking gesangipun boten
miturut raosing hawa napsu.”
Dengan metode sedemikian
pengabaran injil bisa lebih diterima komunitas jawa yang merupakan
bagian terbesar dari masyarakat lumajang walhasil berdasarkan data
sebagaiamana blog release GKJW, misi Kristen jawi wetan yang berpusat di
desa tunjung rejo bisa tersebar hingga ke daerah-daerah lain di pelosok
lumajang yang kemudian membentuk cabang pelayanan misi atau disebut
pepanthan, 7 buah pepanthan yang tersebar dibeberapa desa dan kecamatan
di Kabupaten Lumajang antara lain Pepanthan Bades, Pepanthan Jatiroto,
Pepanthan Sumberwuluh, Pepanthan Klakah, Pepanthan Randuagung, Pepanthan
Dampar dan Pepanthan Pandanwangi.
Meski sebenarnya ada
begitu banyak aliran dalam Kristen sebagaimana dinamika interaksi
masyarakat tunjungrejo selanjutnya namun yang menarik di desa
tunjungrejo tetap hanya ada satu gereja yakni greja jawi wetan, sebuah
fakta eksistensi sebuah misi yang tak tergoyahkan…Wallahua’lam
Sebuah Potret Eksistensi Gerakan Nativisasi di Pesisir Pantai Selatan Lumajang
Posted by Satria Hijau on 23.43
Suara gamelan terdengar sayup
sayup sampai, di depan gapura desa kemacetan menyergap, petugas kamtib
berpakaian hansip bersenjata pentungan dan peluit tampak ekstra sibuk
mengatur lalu lalang kendaraan, konon ada ritual sesaji yang
ditradisikan masyarakat desa itu dan terus dilestarikan turun temurun
dari tahun ke tahun, walhasil niat untuk singgah batal karena khawatir
terjebak dalam kemacetan sebagaimana umumnya terjadi pada event2
karnaval di desa, ruas jalan yang sempit tak sebanding dengan meluasnya
animo warga yang senantiasa datang berduyun-duyun mengerumuni sebuah
keramaian, saat itu saya lebih memilih meneruskan perjalanan ke timur
dan menyimpan memori penasaran tentang sebuah desa yang menurut
penuturan seorang teman “unik dan menarik”
Tempo hari kebetulan ada kesempatan menyinggahinya kembali, disela itulah saya mencoba mendapatkan “memori yang tertunda” tentang sisi menarik desa yang bernama tunjung rejo tersebut. Dalam sekilas gambaran saya tunjungrejo tak ubahnya tempursari sebuah wilayah yang berada di tapal perbatasan lumajang-malang selatan, tempat misi penginjilan dengan mayoritas penduduknya beragama nasrani, bedanya tunjungrejo bermasyarakat lebih homogen dengan akses jalan yang lebih mudah dibandingkan tempursari dengan jajaran bukit berbukit disepanjang pesisir pantai selatan. Kendati demikian keduanya adalah sebuah representasi sekaligus menjadi icon eksistensi misi zending yang terus menggeliat ditengah dinamika masyarakat lumajang yang majemuk.
Desa seribu gapura
Memasuki desa ini sebuah gapura berdiri anggun dengan ornament apik yang dominan dengan warna biru, selintas gapura inilah sisi menarik sekaligus pembeda dengan desa-desa lain disekitarnya, beberapa puluh tahun silam gapura sebagai pembatas desa masih belum jadi trend, yang saat itu banyak kita temui hanyalah gapura sebagai tanda batas sebuah kecamatan atau kota, meski keberadaan gapura sebagai pembatas desa saat ini sudah jamak dan lumrah namun tetap saja gapura desa tunjungrejo tampak berbeda, lebih terlihat sebagai sebuah monument yang seolah ingin menebar kesan bagi siapasaja yang melintas dan menatapnya.
Melintas terus keselatan disamping kanan dan kiri jalan berjajar pemukiman warga dengan ciri khas halaman luas berhias pagar tembok dengan sebuah gapura kecil bertuliskan angka 19 dan 45 disertai gambar salip putih masing-masing dibawahnya, bentuk pagar semacam ini yang oleh warga tempatan disebut gapuro kuingat dulu pernah jadi mode di desa-desa pada sekitar tahun 1980-an hanya saja karena rezim berkuasa saat itu sedang menggalakkan astung (asas tunggal) maka tak heran jika gambar penghiasnya adalah garuda pancasila dan tulisan bhinneka tunggal ika.
Kini gapura semacam ini sudah punah berganti dengan pagar-pagar tinggi dari tembok dan besi, namun di desa tunjungrejo justru berlaku sebaliknya apapun jenis dan bentuk bangunannya gapura salip menjadi atribut yang seolah tak tergantikan di sepanjang desa yang dihuni oleh sekitar dua ribuan warga ini, walhasil jika pagar semacam itu layak disebut gapura maka desa Kristen ini layak menyandang sebutan desa dengan seribu gapura salib.
Jika kita buka lembaran tarikh Kata gapura yang diadopsi dari bahasa arab ghafur atau gapuro dalam pengucapan lazimnya secara historis mempunyai arti yang penting bagi perkembangan agama Islam di Pulau Jawa. Konon kata gapura dipakai sejak periode dakwah walisongo, gapura digunakan untuk menyebut orang yang memasuki masjid, barang siapa yang melewati gerbang (gapura) masuk ke masjid (Demak) maka ia telah membuka jalan pertobatan untuk menghapus dosa-dosanya yang telah berlalu. Gapura (jalan pertaubatan) dilambangkan dengan sebuah gerbang yang pada episode selanjutnya diserap dalam perbendaharaan bahasa jawa menjadi gapuro yang juga dimaknakan gedhe pangapuro (sebesar-besar pengampunan).
Realitasnya penerapan kata gapuro justru menjadi bias dari asbabun nuzulnya, sebagai kritik pada perkembangannya kaum muslimin justru mengabaikan bahkan acuh tak acuh dengan keberadaan perlambang dakwah tersebut, justru kalangan nasrani sebagaimana tergambar dalam catatan perjalanan ini lebih “kreatif” karena telah berhasil mengolah pesan simbolik “gapuro” untuk kepentingan misi mereka, dalam terapannya mereka berhasil mengemas gapuro (besarnya pengampunan) lantas menyandingkannya dengan salib yang menjadi lambang penebusan dosa, sebuah paduan yang selaras untuk mensiarkan misi.
--- BERSAMBUNG---
(catatan perjalanan, ramadhan 1432H)
Tempo hari kebetulan ada kesempatan menyinggahinya kembali, disela itulah saya mencoba mendapatkan “memori yang tertunda” tentang sisi menarik desa yang bernama tunjung rejo tersebut. Dalam sekilas gambaran saya tunjungrejo tak ubahnya tempursari sebuah wilayah yang berada di tapal perbatasan lumajang-malang selatan, tempat misi penginjilan dengan mayoritas penduduknya beragama nasrani, bedanya tunjungrejo bermasyarakat lebih homogen dengan akses jalan yang lebih mudah dibandingkan tempursari dengan jajaran bukit berbukit disepanjang pesisir pantai selatan. Kendati demikian keduanya adalah sebuah representasi sekaligus menjadi icon eksistensi misi zending yang terus menggeliat ditengah dinamika masyarakat lumajang yang majemuk.
Desa seribu gapura
Memasuki desa ini sebuah gapura berdiri anggun dengan ornament apik yang dominan dengan warna biru, selintas gapura inilah sisi menarik sekaligus pembeda dengan desa-desa lain disekitarnya, beberapa puluh tahun silam gapura sebagai pembatas desa masih belum jadi trend, yang saat itu banyak kita temui hanyalah gapura sebagai tanda batas sebuah kecamatan atau kota, meski keberadaan gapura sebagai pembatas desa saat ini sudah jamak dan lumrah namun tetap saja gapura desa tunjungrejo tampak berbeda, lebih terlihat sebagai sebuah monument yang seolah ingin menebar kesan bagi siapasaja yang melintas dan menatapnya.
Melintas terus keselatan disamping kanan dan kiri jalan berjajar pemukiman warga dengan ciri khas halaman luas berhias pagar tembok dengan sebuah gapura kecil bertuliskan angka 19 dan 45 disertai gambar salip putih masing-masing dibawahnya, bentuk pagar semacam ini yang oleh warga tempatan disebut gapuro kuingat dulu pernah jadi mode di desa-desa pada sekitar tahun 1980-an hanya saja karena rezim berkuasa saat itu sedang menggalakkan astung (asas tunggal) maka tak heran jika gambar penghiasnya adalah garuda pancasila dan tulisan bhinneka tunggal ika.
Kini gapura semacam ini sudah punah berganti dengan pagar-pagar tinggi dari tembok dan besi, namun di desa tunjungrejo justru berlaku sebaliknya apapun jenis dan bentuk bangunannya gapura salip menjadi atribut yang seolah tak tergantikan di sepanjang desa yang dihuni oleh sekitar dua ribuan warga ini, walhasil jika pagar semacam itu layak disebut gapura maka desa Kristen ini layak menyandang sebutan desa dengan seribu gapura salib.
Jika kita buka lembaran tarikh Kata gapura yang diadopsi dari bahasa arab ghafur atau gapuro dalam pengucapan lazimnya secara historis mempunyai arti yang penting bagi perkembangan agama Islam di Pulau Jawa. Konon kata gapura dipakai sejak periode dakwah walisongo, gapura digunakan untuk menyebut orang yang memasuki masjid, barang siapa yang melewati gerbang (gapura) masuk ke masjid (Demak) maka ia telah membuka jalan pertobatan untuk menghapus dosa-dosanya yang telah berlalu. Gapura (jalan pertaubatan) dilambangkan dengan sebuah gerbang yang pada episode selanjutnya diserap dalam perbendaharaan bahasa jawa menjadi gapuro yang juga dimaknakan gedhe pangapuro (sebesar-besar pengampunan).
Realitasnya penerapan kata gapuro justru menjadi bias dari asbabun nuzulnya, sebagai kritik pada perkembangannya kaum muslimin justru mengabaikan bahkan acuh tak acuh dengan keberadaan perlambang dakwah tersebut, justru kalangan nasrani sebagaimana tergambar dalam catatan perjalanan ini lebih “kreatif” karena telah berhasil mengolah pesan simbolik “gapuro” untuk kepentingan misi mereka, dalam terapannya mereka berhasil mengemas gapuro (besarnya pengampunan) lantas menyandingkannya dengan salib yang menjadi lambang penebusan dosa, sebuah paduan yang selaras untuk mensiarkan misi.
--- BERSAMBUNG---
(catatan perjalanan, ramadhan 1432H)