Rabu, 26 Februari 2014

Sebuah Potret Eksistensi Gerakan Nativisasi di Pesisir Pantai Selatan Lumajang

Suara gamelan terdengar sayup sayup sampai, di depan gapura desa kemacetan menyergap, petugas kamtib berpakaian hansip bersenjata pentungan dan peluit tampak ekstra sibuk mengatur lalu lalang kendaraan, konon ada  ritual sesaji  yang ditradisikan masyarakat desa itu dan terus dilestarikan turun temurun dari tahun ke tahun, walhasil niat untuk singgah batal karena khawatir terjebak dalam kemacetan sebagaimana umumnya terjadi pada event2 karnaval di desa, ruas jalan yang sempit tak sebanding dengan meluasnya animo warga yang senantiasa datang berduyun-duyun mengerumuni sebuah keramaian, saat itu saya lebih memilih meneruskan perjalanan ke timur dan menyimpan memori penasaran tentang sebuah desa yang menurut penuturan seorang teman “unik dan menarik”

Tempo hari kebetulan ada kesempatan menyinggahinya kembali, disela itulah saya mencoba mendapatkan “memori yang tertunda” tentang sisi menarik desa yang bernama tunjung rejo tersebut. Dalam sekilas gambaran saya tunjungrejo tak ubahnya tempursari sebuah wilayah yang berada di tapal perbatasan lumajang-malang selatan, tempat misi penginjilan dengan mayoritas penduduknya beragama nasrani, bedanya tunjungrejo bermasyarakat lebih homogen dengan akses jalan yang lebih mudah dibandingkan tempursari dengan jajaran bukit berbukit disepanjang pesisir pantai selatan. Kendati demikian keduanya adalah sebuah representasi sekaligus menjadi icon eksistensi misi zending yang terus menggeliat ditengah dinamika masyarakat lumajang yang majemuk.

Desa seribu gapura
Memasuki desa ini sebuah gapura berdiri anggun dengan ornament  apik yang dominan dengan warna biru, selintas gapura inilah sisi menarik sekaligus pembeda dengan desa-desa lain disekitarnya, beberapa puluh tahun silam gapura sebagai pembatas desa masih belum jadi trend, yang saat itu banyak kita temui  hanyalah  gapura sebagai tanda batas sebuah kecamatan atau kota, meski keberadaan gapura sebagai pembatas desa saat ini sudah jamak dan lumrah namun tetap saja gapura desa tunjungrejo tampak berbeda, lebih terlihat sebagai sebuah monument yang seolah ingin menebar kesan bagi  siapasaja yang melintas dan menatapnya.

Melintas terus keselatan disamping kanan dan kiri jalan berjajar pemukiman warga dengan ciri khas halaman luas berhias pagar tembok dengan sebuah gapura kecil bertuliskan angka 19 dan 45 disertai gambar salip putih masing-masing dibawahnya, bentuk pagar semacam ini yang oleh warga tempatan disebut gapuro kuingat dulu pernah jadi mode di desa-desa pada sekitar tahun 1980-an hanya saja karena rezim berkuasa saat itu sedang menggalakkan astung (asas tunggal) maka tak heran jika gambar penghiasnya adalah garuda pancasila dan tulisan bhinneka tunggal ika.
Kini gapura semacam ini sudah punah berganti dengan pagar-pagar tinggi dari tembok dan besi, namun di desa tunjungrejo justru berlaku sebaliknya apapun jenis dan bentuk bangunannya gapura salip menjadi atribut yang seolah tak tergantikan di sepanjang desa yang dihuni oleh sekitar dua ribuan warga ini, walhasil jika pagar semacam itu layak disebut gapura maka desa Kristen ini layak menyandang sebutan desa dengan seribu gapura salib.

Jika kita buka lembaran tarikh Kata gapura yang diadopsi dari bahasa arab ghafur atau gapuro dalam pengucapan lazimnya secara historis mempunyai arti yang penting bagi perkembangan agama Islam di Pulau Jawa. Konon kata gapura dipakai sejak periode dakwah walisongo, gapura digunakan untuk menyebut orang yang memasuki masjid, barang siapa yang melewati gerbang (gapura) masuk ke masjid (Demak) maka ia telah membuka jalan pertobatan untuk menghapus dosa-dosanya yang telah berlalu. Gapura (jalan pertaubatan) dilambangkan dengan sebuah gerbang yang pada episode selanjutnya diserap dalam perbendaharaan bahasa jawa menjadi gapuro yang juga dimaknakan gedhe pangapuro (sebesar-besar pengampunan).

Realitasnya penerapan kata gapuro justru menjadi bias dari asbabun nuzulnya, sebagai kritik pada perkembangannya kaum muslimin justru mengabaikan bahkan acuh tak acuh dengan keberadaan perlambang dakwah tersebut, justru kalangan nasrani sebagaimana tergambar dalam catatan perjalanan ini lebih “kreatif” karena telah berhasil mengolah pesan simbolik “gapuro” untuk kepentingan misi mereka, dalam terapannya mereka berhasil mengemas gapuro (besarnya pengampunan) lantas menyandingkannya dengan salib yang menjadi lambang penebusan dosa, sebuah paduan yang selaras untuk mensiarkan misi.

--- BERSAMBUNG---
(catatan perjalanan, ramadhan 1432H)








0 komentar:

Posting Komentar

Simak juga daftar bisnis online TOP hari ini :

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grants For Single Moms