Rabu, 26 Februari 2014
Potret Eksistensi Gerakan Nativisasi di Pesisir Pantai Selatan Lumajang (Bagian 2)
Posted by Satria Hijau on 23.46
Situs dan Tutur Sejarah
Selang sekitar
seratusan meter dari gapura desa terdapat sebuah kompleks pekuburan
yang telah berusia ratusan tahun namun kondisinya masih cukup baik dan
terawat, kompleks makam ini merupakan pemakaman umum satu-satunya dan
masih dipergunakan oleh warga hingga saat ini.
Tata
bangunan pemakaman tersebut tak ubahnya makam-makam tua peninggalan
belanda atau pekuburan cina pada umumnya namun yang terlihat berbeda dan
mencolok adalah pintu gerbang makam yang secara tegas di pasang tanda
salib, sebuah atribut resmi yang menunjukkannya sebagai pemakaman
Kristen.
Makam tersebut memang lebih mirip sebuah situs
yang mengabarkan juga sebuah fakta sejarah tentang tumbuh kembang
terbentuknya masyarakat Kristen tunjungrejo, di dalam kompleks itu
dimakamkan juga tokoh-tokoh setempat termasuk juga sang sesepuh pendiri
desa tunjungrejo yang bernama Raden Seto Brontodiwirjo, seorang tokoh
pemuka agama berasal dari komunitas Kristen mojowarno-mojokerto yang
konon mendapatkan “restu” dari pemerintah belanda dalam kisaran tahun
1890-1900 untuk membuka sebuah desa baru atau mbabat alas hingga
kemudian dari kepeloporannya bisa berdiri sebuah desa Kristen bernama
tunjungrejo dengan segala pernak pernik keunikannya.
Dari
penuturan mbah jono narasumber dadakan yang berhasil dikorek
keterangannya, desa ini sudah berdiri selama empat generasi namun anak
muda desa tunjungrejo tak pernah gagap dalam menceritakan tentang desa
mereka dengan latar belakang kesejarahannya, hal ini dikarenakan dalam
setiap momentum yang rutin diadakan setiap tahunnya seperti selamatan
sedekah desa yang mereka namakan tradisi unduh-unduh maupun natalan
selalu ada bagian atau babak khusus untuk menuturkan sejarah keberadaan
desa mereka dari awal mula mbabat alas hingga saat ini, ada semacam
surat (=serat) dari generasi tua kepada generasi muda berisi pesan untuk
membangun desa dengan segenap potensi material dan spiritualnya, surat
yang biasanya dilantunkan dalam bentuk tetembangan jawa tersebut
merupakan tutur sejarah yang seolah memberi ruang bagi generasi muda
untuk optimis membangun desa sebagaimana para pendahulu mereka sukses
melakukannya.
Melalui media situs dan tutur sejarah yang
senantiasa didekatkan kepada generasi muda maka meski tlah berlangsung
selama empat generasi namun akar sejarah seolah takkan pernah mengering
menjadi inspirasi bagi generasi sekarang agar bisa meneguhkan eksistensi
mereka ditengah tantangan dan dinamika zaman.
Kristen-Jawa bernama Kristen Jawi Wetan
Memasuki
tunjungrejo suasana alam pedesaan begitu terasa, desa yang berbatasan
langsung dengan laut selatan ini dikenal subur dan memiliki sistem
irigasi pertanian yang baik, karakteristik masyarakatnya yang agraris
tampak dari cara penataan rumah dan lahan, bangunan rumah diposisikan
tepat di tengah-tengah sementara lahan disekelilingnya difungsikan
sebagai ladang atau tegalan untuk bercocok tanam sayuran, buah buahan
dan aneka ragam tanaman produktif lainnya. Karakter masyarakat jawa yang
agraris menjadi ciri khas yang dengan mudah kita temui pada masyarakat
kristen desa tunjungrejo.
Di pusat desa yang berdekatan
dengan balai desa terdapat sebuah gereja yang merupakan satu-satunya
gereja yang berdiri di desa kristen tersebut, dari nameboardnya gereja
tersebut bernama GKJW (Greja Kristen Jawi Wetan) Pasamuwan Tunjungrejo
berbadan hukum NO 53 TGL 27 6 932 STBL 372, gereja jawi wetan tersebut
sudah berusia lebih seratus tahun, telah mengalami beberapa kali
renovasi dengan mempertahankan bentuk aslinya hingga berwujud seperti
sekarang ini.
Meskipun
tidak bisa dinafikan keberadaan warisan belanda yang tampak dari
arsitek gereja dan pemakaman namun penganut kristen jawi wetan
senantiasa tampil “njawani” menurut cerita seorang teman nasrani yang
pernah mengikuti perayaan paskah disana jamaah gereja atau umumnya
disebut jemaat senantiasa hadir di gereja dengan mengenakan busana
sehari-hari, para wanita kebanyakan berkebaya sedangkan laki-lakinya
sebagian mengenakan pakaian adat jawa, sebagian lagi bersongkok bahkan
mengenakan sarung sebagaimana yang biasa dikenakan warga muslim saat
berjamaah ke masjid. Teman nasrani yang dibesarkan di alam perkotaan
justru kurang bisa memahami ritual jemaat disana dikarenakan sebagian
besar menggunakan bahasa jawa halus (kromo inggil) meskipun ada juga
sebagian pengantar yang menggunakan bahasa indonesia.
Jangan
pernah berharap akan mendengar suara piano dan aransemen modern lainnya
pada setiap acara seperti natal, paskah atau ritual unduh unduh karena
justru pada acara-acara tersebut yang dilantunkan adalah syair
puji-pujian dalam tetembangan jawa diantaranya yang terkenal adalah
langgam kidung pujian serat rasa sejati karya (kiai) paulus tosari
pemimpin GKJW Mojowarno yang merupakan cikal bakal lahirnya GKJW di
daerah-daerah lain di jawa timur.
Metode pengabaran injil
oleh paulus tosari yang jejaknya diikuti oleh para penerusnya tidak
hanya menggunakan wayang, tetapi juga menggunakan media aneka langgam
jawa dalam bentuk asmaradana, kinanthi, pucung, pangkur, maskumambang, mijil, gambuh, dandanggula, megatruh, hingga sinom.
Sekilas googling mencari syair serat rasa sejati, diantaranya saya copy pastekan sebagai berikut :
“Rasa
sajati pinangkanipun saking Gusti Allah; tanpa rasa sajati manungsa
boten leres wonten ngarsanipun Pangeran. Suraosing gesang ingkang
nunggil kaliyan suraosing Gusti Allah punika kaurmatan lan pangabekti;
saged langgeng wonteng ing pejah saha gesang, punapa malih begja utawi
cilaka. Manungsa ingkang nampi dhawuhing Gusti Allah punika ingkang
kanggenan rasa sajati; gadhah kamukten salabetipun nandhang nistha, saha
kabegjan salebetipun nandhang sangsara, tindaking gesangipun boten
miturut raosing hawa napsu.”
Dengan metode sedemikian
pengabaran injil bisa lebih diterima komunitas jawa yang merupakan
bagian terbesar dari masyarakat lumajang walhasil berdasarkan data
sebagaiamana blog release GKJW, misi Kristen jawi wetan yang berpusat di
desa tunjung rejo bisa tersebar hingga ke daerah-daerah lain di pelosok
lumajang yang kemudian membentuk cabang pelayanan misi atau disebut
pepanthan, 7 buah pepanthan yang tersebar dibeberapa desa dan kecamatan
di Kabupaten Lumajang antara lain Pepanthan Bades, Pepanthan Jatiroto,
Pepanthan Sumberwuluh, Pepanthan Klakah, Pepanthan Randuagung, Pepanthan
Dampar dan Pepanthan Pandanwangi.
Meski sebenarnya ada
begitu banyak aliran dalam Kristen sebagaimana dinamika interaksi
masyarakat tunjungrejo selanjutnya namun yang menarik di desa
tunjungrejo tetap hanya ada satu gereja yakni greja jawi wetan, sebuah
fakta eksistensi sebuah misi yang tak tergoyahkan…Wallahua’lam
0 komentar:
Posting Komentar